Dia

Minggu, 13 Desember 2015

20 Shofar 1437/ 2 Des 2015
Dia…….
17th sudah saya mengenalnya, bukan waktu yang singkat.
Berbagai macam persoalan telah kami lalui bersama, ada gembira, tertawa, menangis, bahagia, marah, sedih, kesal, cemburu, curiga dll telah mewarnai perjalanan ini.
Sampai pada titik saya mengenal Allah itupun saya lalui bersamanya.
Mengenal Allah yang waktu itu terasa begitu asing dalam kehidupanku, 8th Allah masuk dalam kehidupanku sampai pada saat ini Alhamdulillah.
Perlahan - lahan saya mulai mengenal Allah, Allah seolah - olah ingin mengenalkan Islam kepada saya walaupun masih samar dalam pengetahuanku.
Apa itu hidayah saya pun belum mengetahuinya.
 
Dia….
Sungguh begitu special dalam perjalanan saya… ditambah dengan  putra-putri kami mewarnai langkah ini.
ISLAM  dengannya saya mulai merasakan Allah sangat dekat dengan saya, dan membuat saya penasaran ingin mengetahui dan mengenal Allah lebih dekat lagi melalui Islam.
ketika saya mengetahui sedikit dari sekian banyak Ilmu Allah, saya mendapati berbeda dengan keadaan lingkungan sekitar saya.
Saya mulai merasa ketidaknyamanan dari diri saya maupun lingkungan sekitar.
Saya ingin segera merubah keadaan ini sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan saya pun semakin gegabah dalam perubahan ini dan Lupa dengan sebuah kata yang bernama “Proses”.

Hidayah…
Ya Sebuah kata yang simple tapi itu adalah kunci Kehidupan kita di dunia untuk kehidupan yang sangat panjang.
Hidayah diberikan sesuai kehendak Allah, diberkan sedikit demi sedikit atau langsung banyak, itupun tidak semua orang diberikan Hidayah. Hanya orang-orang pilihan.

Dia….
Sangat saya sayangi, dia telah menemani saya dengan kesabaran yang dia miliki.
Dia memang tidak sempurna, tapi kesederhanaan nya yang membuat saya takjub, tidak memiliki keinginan yang besar selain membahagiakan kedua orangtuanya serta keluarga kecilnya.
Saya Ceroboh dalam mendekatkan dia dengan Allah.
Dia memang sudah mengenal Islam jauh sebelum saya tapi dia belum mengenal hakekat dekat dengan Allah.
Saya gagal mengenalkan dia kepada Allah, saya lelah.. dan sayapun kalah dengan perjuangan ini.

Tapi Allah Azza wa jalla jika menginginkan Hidayah sampai kepada fulan maka tidak ada yang bisa menghalanginya.
Cara Allah membagikan Hidayah salah satunya dengan musibah entah itu sakit, kesedihan, kehilangan harta, ketakutan dan kesusahan, hanya Allah yang mengetahuinya.

Ilmu adalah hidayah Allah.
Dengan Ilmu kita bisa dekat dengan Allah.
Dengan cara meninggalkan larangan Allah dan sedikit demi sedikit menjalankan perintahNYA, itu tidak dapat kita lakukan tanpa Hidayah.
Berat langkah ini tanpa Hidayah.
musibah akan lebih membuat kita terpuruk jika kita tidak mendapat Hidayah.
Hidayah memang Mahal krn tidak dapat diperoleh dengan mudah, perjuangan adalah pakaian kita dalam mencari Hidayah Allah.
Dan kuncinya Adalah Sabar dan Shalat, kenapa sabar yg didahulukan?
Karena dengan Sabar kita bisa Shalat.
Dia…
Saya sangat inginkan mendapat Hidayah itu, begitu juga dengan diriku yg sangat butuh Hidayah.
Kalaupun Masalah demi Masalah yang selalu hadir dalam perjalanan ini merupakan jalan menuju Hidayah untuk dia dan saya maka saya rela menghadapi semua ini dengan lapang dada.
Dan kalaupun juga jalan ini merupakan penggugur dosa kami maka saya rela ya Allah.
Jangan Engkau cabut nikmat kami merintih kepadaMU ya Allah dan digantikan dengan Nikmat yg fana yang membuat kami jauh dari Hidayah.
Biarkan Kami merasakan Manisnya bermunajat kepadaMU dengan melalui Cobaan ini.
Kami tidak meminta Engkau menghilangkan Cobaan ini Tapi kami minta Engkau Kuatkan Kami dan Uruskan Urusan kami Aamiin.

 

TAHADDUTS BIN NI'MAH

Sabtu, 12 Desember 2015

Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. 

Menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. 
Nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia.

Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ (memamerkan amal shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shalih)? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah:

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan ujub (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” (Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312).

Konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. 
Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain

 Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” (QS. Adh-Dhuha: 11).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

“Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh  amal shalih (maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya), maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” (Nur ‘alad Darb: 30/12).

Mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.

Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)

Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.

Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)

Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.

Kesimpulan

Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah (termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh) sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`(memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia) dan sum’ah (memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia),maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.

Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah (ikhlas) lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu.

Dari Abi Dzar –radhiallahu ‘anhu– berkata,

 قيل: يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه؟ قال: تلك عاجل بشرى المؤمن) رواه مسلم.

“Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin)” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.


Sumber: 
@dakwatuna.com
@artikelmuslim.or.id

#catatanhijrah_lmr
Blog contents © catatanku 2012. Blogger Theme by Nymphont.